Tempat Corat-Coret Dikala Senggang

Iman Si Baban yang Memang Tak Segede Gaban

Perkara harta dan kebendaan ternyata memang benar sangat bisa menggoyahkan iman.

Tentu saja saya bukan orang yang saleh. Kendati demikian, saya tetaplah pribadi yang menganggap penting nilai iman. Saya percaya, iman, ketaatan kepada Tuhan, dan segala printilannya yang berhubungan dengan kerohanian adalah hal yang mahal. Ia lebih berharga daripada harta benda apa pun.

Dalam doa-doa yang selalu saya panjatkan, saya selalu berdoa, “Ya Tuhan, kuatkanlah imanku, kuatkanlah Islamku,” bukannya, “Ya Tuhan, kuatkanlah ketahanan pangan dan ekonomiku.”

Namun begitu, ada banyak peristiwa yang membuat saya merasa bahwa iman saya ternyata tidak segede gaban seperti yang saya kira. Kejadian saat salat jamaah beberapa waktu lalu menjadi salah satunya.

Saat salat tersebut, seperti salat-salat saya biasanya, saya meletakkan kacamata di depan. Saya memang terbiasa meletakkan kacamata (juga ponsel) di depan saat salat. Saya tidak terbiasa salat sambil memakai kacamata, sebab hidung ini sungguh mendeleb peseknya sehingga kalau saya memaksa memakai kacamata, jidat dan hidung saya susah untuk menyentuh lantai, yang mana setahu saya, merupakan syarat baiknya sujud.

Baca juga:  Menu Makanan Tiap Hari Sama? Tak Masalah Bagi Saya 😊

Kebiasaan saya meletakkan kacamata di depan saat salat beberapa waktu lalu saat menjalankan salat ternyata memberikan pelajaran spiritual yang sangat besar.

Salat saya menjadi sangat tidak khusyuk dan membuat jantung ini ser-seran sebab ternyata disaat bersamaan ketika salat berlangsung ada bapak-bapak yang berjalan terburu-buru di depan barisan saf saat salat karena datang terlambat. Tentu saja hal itu membuat jantung saya merasa was-was. Saya takut kacamata saya terinjak.

Ya walaupun kacamata ini harganya memang tak mahal-mahal amat, namun kalau sampai terinjak, ya tekor juga.

Seketika, kekhusukan salat saya merasa kacau, dan dasar nasib, baru rakaat pertama, sesaat setelah membaca Al-Fatihah, ada bapak-bapak berjalan di depan saya dengan tergesa-gesa.  Posisi kaki si bapak tersebut saya perkiraan bakal menginjak kacamata saya.

Dalam jarak yang sangat tipis, tangan dan mulut saya refleks.

“Awas!” teriak saya, sembari memajukan tangan menghalau si bapak.

Saya lemas. Batal sudah salat saya.

Maka, mau tak mau, saya harus mengulang salat saya.

Baca juga:  Taplak keplakeplak Koplak

Saya sedih. Bukan, Bukan karena saya harus mengganti salat saya, melainkan karena iman saya yang ternyata masih murah, sampai-sampai saya tidak bisa menjaga kekhusyukan salat hanya karena kacamata.

Saya jadi ingat kisah Khalifah Umar bin Khattab r.a. Beliau pernah tertinggal salat Asar berjamaah karena sibuk dengan kebun kurmanya. Beliau sungguh menyesal atas hal itu. Sebagai penebusan, Beliau pun lantas menyedekahkan kebun kurma miliknya.

Hari ini, saya mengamati kacamata saya lekat-lekat.

Dalam hati, terpikir pertanyaan, Haruskah saya meniru Khalifah Umar? Haruskah saya menyedekahkan kacamata ini?

Lima detik kemudian, dari dalam hati pula, tersirat jawaban, Jangan, ban. lumayan lho harganya ini!

Dengan demikian, saya makin yakin, bahwa iman si baban ini sungguhlah tak segede gaban, huufftt…..😞.

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *