“Saat wanita lelah bekerja, maka ia hanya ingin dinikahi”. Statement ini sempat viral beberapa waktu lalu yang tak lain diviralkan oleh warganet budiman.
Dan pada kenyataannya, anggapan pendek bahwa “apapun masalahnya, rabi solusinya” ternyata tak hanya viral di internet saja namun menjadi sebuah keyakinan dari sebagian masyarakat Indonesia.
Masih teringat jelas beberapa tahun lalu, terdapat kejadian yang cukup viral, yakni pernikahan seorang laki-laki berusia 14 tahun dan masih duduk di kelas 5 SD dengan perempuan berusia 15 tahun yang masih kelas 8. Pernikahan yang terjadi di Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan ini disebutkan terjadi karena “kalau mereka ditegur (karena pacaran), malah kabur….”
Mantep toh? Kalau ini terjadi di era Shakespeare, maka Romeo dan Juliet tidak perlu repot-repot bunuh diri. Mereka cukup kabur saja kalau ditegur, jelas langsung secepat kilat bakal dikawinkan, dan mereka berdua bisa hidup bahagia berdua selamanya.
Eh, apa? Selamanya? Se-la-ma-nya?
Gundulmu….
Kita tentu setuju bahwa pernikahan itu bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah perjalanan panjang yang belum tentu sampai garis akhir. Perceraian yang mendadak bin mengagetkan, seperti yang terjadi pada pernikahan Ray Sahetapy dan Dewi Yull, Jamal Mirdad dan Lydia Kandou, atau bahkan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) dan Veronika Tan, nyatanya ya akan selalu saja ada. Termasuk juga yang terjadi pada couple goals dunia pada masanya yakni Gading Martin dan Giesel.
Biasanya dalam keterangan pasca perceraian ini mengemuka di publik, para couple goals ini menyebut bahwa persoalan pribadi, perbedaan karakter, dan “daripada saling mencela” sebagai alasan mereka bercerai.
Dari logika berpikir Indonesia, digabung dengan alasan perceraian banyak couple goals ini, kiranya kita bisa mendapatkan siklus wagu sebuah hubungan: Pacaran – Daripada Fitnah – Menikah – Daripada Berantem – Cerai – Pacaran (lagi).
Kalau hanya sekadar sawang-sinawang, tentu tidak ada yang kurang dari perceraian para couple goals.
Soal uang belanja, tentulah bukan masalah. Lha wong para couple goals ini mereka sudah kaya lebih dahulu, kok. Bahkan beberapa diantaranya, sebelum menikah mereka sudah punya rumah seharga miliar rupiah. Nggak ada lagi itu perkara uang kontrakan naik atau susahnya kehidupan pasca promo bunga KPR habis dan beranjak menjadi floating nggak karu-karuan dan selisih kenaikannya bisa 2 juta sendiri.
Hidup mereka tampak sudah begitu sempurna. Karier bagus, otomatis pendapatan juga bagus, plus pasangan juga sama-sama cakep. Pada kenyataannya, mereka memilih mengakhiri kebersamaan itu sekaligus menihilkan makna couple goals yang sudah disematkan para fans couple sejak pertama kali mereka mempublikasikan hubungan.
Oleh karenanya, patut dicatat bahwa menikah itu telah terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai sebuah hal baru yang tidak akan menyelesaikan semua masalah. Kalau tadi di awal ada wanita lelah bekerja tapi kemudian disuruh menikah, pada akhirnya dia malah tambah lelah. Ha, ya minimal, kan, volume umbah-umbah akan meningkat 2 kali lipat, belum termasuk merapikan tempat tidur, mencuci piring, hingga aktivitas lain seperti skidipap atau wik-wik-wik.
Menikah juga menjadi awalan untuk sebuah kehidupan baru dengan adanya 4 orang tua, adanya sekian Pakdhe, Budhe, Paktuo, Maktuo, Sumando, Mangcek, Bicek, Popo, dan yang lain-lainnya lagi. Ya, dua keluarga dengan masalahnya masing-masing, dan itu belum tentu mudah untuk diterima satu sama lain, termasuk mungkin dialami oleh para couple goals.
Menikah itu bukan lagi ketika menghadapi masalah dengan pasangan hidup, lantas bisa balik kanan dan balik ke ketiak orang tua. Sebab, secara agama maupun negara, pasangan yang sudah menikah adalah institusi sendiri yang diakui eksistensinya.
Menikah juga soal menghadapi masalah bersama-sama, mulai dari ketipu marketing apartemen yang disangka baik karena peserta aksi paling kondang se-Jakarta, acara keluarga besar masing-masing yang bertabrakan, keinginan untuk beli motor lagi padahal DP beli rumah belum terkumpul, gaji belasan juta berdua di Jakarta yang nyata-nyata tetap mepet apalagi kalau rumah jauh dan sudah punya anak, serta begitu banyak masalah lainnya, yang sejujurnya tidak akan ada kalau kita tidak menikah.
Oh, dan sebagaimana mungkin dirasakan oleh para couple goals, bahwa bersua orang yang sama ketika bangun tidur dan mau tidur lagi, sementara bawaan kita emosi melihatnya, pastilah tidak enak. Segitunya mereka masih mending, karena suami sama istri walaupun menyebalkan tapi ya tetap saja cakep.
Jadi, begitulah, perceraian para selebritis couple goals ini yang sesungguhnya menjadi peneguhan bahwa menikah adalah proses yang tidak mudah, tapi akan bisa dijalani kalau dua orang yang mau menikah itu setidaknya punya kesamaan visi dalam menjalani kehidupan. Nah, kesamaan visi tersebut baru akan bisa tercapai jika ada saling mengalah satu sama lain. Dan tentu saja, ini tidak mudah, Bambang…
Leave a Reply