Memasuki usia kepala 3, dimana sudah banyak teman-teman saya berumah tangga. Saya kembali mengenal hal-hal baru dalam hidup. Bersama obrolan dengan kawan yang sudah berumah tangga, mereka menceritakan bahwa dengan menikah hidup akan lebih berwarna, dimana letih akan hilang hanya dengan melihat senyum anak, masakan istri yang makin enak, jokes bapak-bapak yang mulai terngiang-ngiang di benak, dan yang terakhir cerita mengenai tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga untuk menopang ekonomi keluarga tetap kuat.
Untuk saya yang belum menikah, saya beranggapan bahwa hal terakhir tersebut merupakan hal penting untuk disiapkan, terlebih untuk saya yang terlahir dari keluarga perintis bukan pewaris. Oleh karenanya saya mencoba mempersiapkan semua kemungkinan diawal, sebelum menikah. Dan tak terasa, sibuk mempersiapkan sampai lupa bahwa tahun ini sudah kepala 3 😀
Masalah ekonomi di keluarga muda memang seringnya, berlanjut jadi masalah-masalah baru. Tak heran bila data keluarga nasional menunjukan tingkat perceraian tertinggi di Indonesia berasal dari masalah ekonomi. Ya, walaupun saya sebenarnya tidak setuju-setuju amat. Karena bila pasangan benar-benar menikah dengan berlandaskan cinta, harusnya sudah siap dan tahu bahwa berumah tangga tidak seperti adegan romantis di telenovela. Pasangan muda tentu harus siap untuk jatuh bangun di awal dan berdoa lebih sering.
Masih dari data yang sama, masalah ekonomi, katanya membuat pasangan lebih mudah marah, letih, kurang ceria hingga menyebabkan pandangan yang sempit. Intinya, susah untuk menikmati hidup. Sehingga, kadang, yang bisa dilakukan hanyalah sambat atau curhat. Setidaknya, dengan sambat dalam hati, bisa membuat kita lebih tenang dari masalah himpitan eknomi.
Namun, terkadang, manusia alih-alih jadi baik, malah memilih jadi begajulan. Saya tak jarang menemukan orang yang sedang sambat tentang masalah ekonominya di platform social media malah ditimpali oleh oknum tulul nan tak berempati. Oknum begajulan tersebut dengan bar-bar komen dengan menyuruhnya untuk menjadi kaya, kira-kira begini ilustrasinya.
“Lur, aku pengin sambat. Duitku ngepres, tapi popok anak sudah habis. Kudu piye yo, Lur?”
“MAKANYA JADI KAYA!”
Sungguhh sebuah komen yang juancukkk…
Curhatan seperti itu sebenarnya bisa dijawab dengan rekomendasi popok murah, atau ditenangkan hatinya, atau dikuatkan perasaannya. Atau yang lebih konkret lagi, coba tawari peluang kerja sampingan jika panjenengan punya infonya. Manusia yang waras, harusnya menjawab seperti itu. Namun, beberapa manusia, memilih jadi juancuk bin tulul, dengan menyuruh orang yang memiliki masalah ekonomi untuk menjadi kaya.
Akhirnya, tak banyak orang yang berani sambat atau curhat di media sosial walaupun sebenarnya membutuhkannya. Padahal dengan curhat di media sosial, orang-orang tersebut sebenarnya sudah berani untuk membuang harga dirinya dengan mengutarakan masalah yang harusnya ia simpan rapat. Terlebih jika ia laki-laki. Di negara ini, jadi laki-laki itu terkadang menyedihkan, diminta kuat tanpa syarat, tak boleh sambat, masalah harus disimpan rapat. Hal tersebut, tinggal menunggu waktu, bikin orang sekuat apa pun jadi remuk.
Keberanian (atau kepasrahan) ini, harusnya diapresiasi. Orang-orang kalah, masih memilih berani, dan mencari solusi. Terlebih masalah ekonomi bukanlah hal yang sepele. Oleh karena itulah, menyuruh jadi kaya, adalah tanggapan yang bodoh.
Kaya atau tidak tak pernah jadi pilihan. Banyak yang sudah berusaha keras, betul-betul keras, tetap saja berakhir jadi medioker. Mereka sudah tahu konsekuensi hidup, tapi tetap berjuang. Kita tahu benar bahwa kerja keras, nyatanya, tak bisa jadi cara tunggal meraih kesuksesan.
Meminta orang jadi kaya karena terhimpit masalah ekonomi itu sebenarnya ya bodoh. Kalau bisa, ya orang memilih jadi kaya. Bahkan, mungkin, sekadar cukup. Namun, ia tak bisa. Banting tulang sampai remuk sekalipun, mereka tetaplah miskin. Dan kita tahu betul bahwa kemiskinan itu bukanlah perkara mental, tapi struktural. Mereka sudah tahu kalau tidak kaya, jadi tak perlu panjenengan ingatkan.
Kita lupa bahwa kita ini manusia. Sambat adalah cara menjadi manusia, dan mendengarkan sambatan juga cara menjadi manusia. Jauh sebelum ide-ide itu dikenal otakmu, dan keinginan-keinginan menjadi sesuatu, kita ini manusia. Tak bisa hidup tanpa orang lain, saling mengasihi satu sama lain.
Sepertinya, kita memang harus mengajarkan pada anak-anak kita bahwa menghargai keluh kesah orang itu perlu. Terkadang orang tak lagi kuat menyimpan hingga akhirnya disampaikan ke media sosial. Terlebih, masalah ekonomi, yang tak pernah mudah dicapai solusinya.
Selain menghargai masalah yang dialami, kita perlu mengajarkan ke anak kita bahwa yang terpenting bukanlah terlihat pintar atau terlihat hebat, tapi, menjadi manusia yang waras. Manusia yang waras, tak akan memilih untuk merendahkan orang lain agar terlihat edgy.
Leave a Reply